Bukan rahasia bahwa kelemahan program penjas di Indonesia selama ini adalah masih mengakar pada kuatnya paradigma keolahragaan di sekolah. Guru-guru penjas kurang memahami perbedaan filosofis antara pendidikan jasmani dan pendidikan olahraga, sejak kedua istilah itu dipertukarkan pada kurikulum tahun 1984. Para guru menganggap bahwa perubahan nama sekadar perubahan trend. Padahal, muatan filosofis dari keduanya sungguh jauh berbeda sehingga arah tujuannya pun berbeda pula.
Pendidikan jasmani berarti program pendidikan melalui gerak, permainan, dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga tertentu yang dipilih hanyalah sebagai alat untuk mendidik dan meningkatkan keterampilan: keterampilan fisik dan motorik, keterampilan berpikir dan memecahkan masalah, termasuk keterampilan emosional dan sosial.
Oleh karena itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga lebih penting daripada hasilnya. Bagaimana guru memilih metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi murid dengan murid lainnya harus menjadi pertimbangan utama.
Di seberang yang lain, pendidikan olahraga adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai cabang-cabang olahraga. Kepada murid diperkenalkan berbagai cabang olahraga agar mereka menguasainya. Yang ditekankan adalah "hasil" dari pembelajaran itu, sehingga metode pengajaran serta bagaimana anak menjalani pembelajarannya didikte oleh tujuan yang ingin dicapai.
Dalam perbedaan nuansa di atas, yang terasa nyata adalah pendidikan olahraga memiliki premis yang berbeda dengan pendidikan jasmani. Penjas bersifat inklusif dan melibatkan semua anak dalam seluruh adegan pembelajaran. Dalam pendidikan olahraga-karena orientasinya ditekankan pada keterampilan formal dari cabang olahraganya-proses pembelajaran lebih bercorak eksklusif dengan hanya memberi tempat kepada yang berbakat, serta menyisihkan yang tidak berminat dan kurang mampu.
DENGAN kesadaran di atas, para penyusun kurikulum penjas berbasis kompetensi telah merumuskan berbagai langkah yang berpeluang mampu memperbaiki kelemahan program penjas. Di antaranya dengan menetapkan berbagai kompetensi dasar bagi setiap kelompok umur siswa, dan melepaskan kewajiban guru penjas dari hanya memenuhi tuntutan GBPP dan target, seperti selama ini terjadi. Dengan demikian, guru dapat mengembangkan kreativitasnya dalam mengembangkan program yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolahnya.
Sinyalemen bahwa kurikulum penjas selama ini masih terlalu berorientasi pada aspek teoritis juga tidaklah benar. Yang benar adalah, program evaluasi penjas seolah bisa diwakili oleh pengukuran aspek teoritis sehingga tidak melihat perkembangan yang terjadi dalam aspek motorik dan kebugaran jasmaninya. Namun, masalah terakhir tersebut sudah diatasi dengan dikeluarkannya suplemen kurikulum penyempurnaan, yang mengharuskan penilaian keberhasilan program penjas dilaksanakan secara lengkap, mencakup aspek kognitif, kebugaran jasmani, serta keterampilan gerak olahraga.
Dengan demikian, permasalahan mutu program penjas, seperti yang dikemukakan sebagai dasar pembentukan KNPJO, sudah tidak aktual dan kontekstual lagi. Jika pun tugas KNPJO masih dilanjutkan, hendaknya mereka berkonsentrasi pada peningkatan kualitas program ekstrakurikuler, yang memang lebih sesuai dengan tujuan untuk mencari atlet berbakat. Adapun program penjas sebagai program intrakurikuler, mohon tidak diobrak-abrik lagi dengan alasan memperbaiki mutu penjas. Alih-alih, penjas kita malahan akan semakin tersungkur.
Percayalah, buruknya kualitas prestasi olahraga Indonesia bukan hanya disebabkan oleh rendahnya kualitas program penjas di sekolah, tetapi lebih karena belum dimilikinya "budaya olahraga" secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar